Menunggu Program Pro-Syariat Dari Pemimpin Baru
Eksistensi penerapan syariat Islam di Aceh terkadang sayup-sayup terdengar oleh kita. Tentunya itu menjadi persoalan yang serius karena menyangkut tanggung jawab moril kita sebagai masyarakat dan pemerintah sebagai penyelenggara. Keberadaan syariat islam semakin lama semakin tak berkiblat, tak terarah dan tujuan yang jelas. Visi dan Misi pemerintah untuk menegakkan syariat islam hanya dijadikan sebagai pajangan untuk memperindah komplek perkantoran. Qanun-qanun syariat islampun akan beralih fungsi menjadi arsip pemerintah yang tak bernyawa. Dinas Syariat Islam dan perangkat WH menjadi bomerang pemerintah atas ketidak effektifitas kerjanya.
Pandangan hipotesis diatas berdasarkan realita yang terjadi di Bumi Serambi Mekkah kita saat ini. Dipemerintahan saja, dimana-mana masih terjadi KKN dan penyalahgunaan jabatan. Belum lagi dengan menurunnya mitos kerja para abdi yang tidak lagi mengganggap pekerjaan sebagai bentuk pengabdian tapi menjadi ladang bisnis.
Pengalaman buruk juga bisa kita lihat pada saat prosesi pemilukada Aceh. Berawal dari masa pendaftaran bakal calon kandidat, tahap kempanye, tahap masa tenang hingga tahap pencoblosan dihari Ha (9/42012) yang lalu Aceh. Hampir setiap hari kita melihat, mendengar dan membaca dimedia massa sudah berapa banyak terjadi perilaku kekerasan, anarkis, hasut menghasut, intimidasi, dan pembunuhan. Money politikpun tak ikut ketinggalan.
Selanjutnya mari kita melihat perilaku muda-mudi Aceh. Apakah mereka juga ikut menyimpang seperti halnya diatas ? Jawabannya adalah sama. Masih ingatkah kita tentang komunitas anak Ponk di Banda Aceh beberapa bulan yang lalu ? Bukankah itu perilaku yang menyimpang dari islam ? Saya rasa jawabannya ada pada kita masing-masing. Tak hanya itu, lebih lanjut jika kita menyimak fenomena saat ini hampir seluruh tempat rekreasi di Aceh dipenuhi oleh muda-mudi untuk menikmati suasana liburan. Sebagai contoh pantai Lhouknga Aceh Besar, pantai Seunagan Nagan Raya, Uleu Lhee Banda Aceh ini bisa dipastikan banyak muda-mudi yang berpasang-pasangan tanpa ikatan nikah. Mereka bebas bercumbu rayu dalam kemesraan cinta âibarat suami istriâ tanpa memiliki rasa malu.
Pelanggaran terhadap norma Islam sudah begitu kompleks, dan semua itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam karena islam mengajarkan yang baik dan benar. Disaat-saat seperti inilah kita merasa kecewa dan timbul tanda tanya dimanakah letak ke-syariatan islam dibumi Aceh ini?
Menurut penulis, dalam kontek syariat islam ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah Aceh dalam masa lima tahun kedepan; Pertama, Adanya pilihan hukum (choice of law) yang tepat. Penegasan terhadap pilihan hukum sangat penting dalam prosesi pemberlakuan terhadap suatu aturan yang baru karena disini ada proses peralihan hukum yang berlaku. Misalnya dulu sebelum berlakunya qanun syariat islam, kita memakai UU Narkotika dan KUHP terhadap pelaku maisir dan khamar serta memakai hukum adat terhadap pelaku kwalwat. Tapi setelah berlaku qanun syariat islam secara otomatis kita tidak lagi menggunakan peraturan lama yang masih bersifat umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Oleh sebab itu sekarang pemerintah sudah saatnya komit untuk menerapkan satu hukum saja yaitu qanun syariat islam untuk menghindari fluralisme/tumpang tindih hukum yang berlaku demi effektifitas hukum islam. Jadi, selama permasalahn diatas masih diatur dalam qanun syariat maka jadikanlah qanun tersebut sebagai dasar hukum yang prima dalam proses penyelesain masalah.
Kedua, butuh hukum ber-acara. Dari segi fungsinya hukum dikenal dua macam bentuk antara lain hukum formil dan hukum formil. Hukum materil ibarat tubuh manusia sedangkan hukum formil ibarat nyawa, tubuh nyawa mustahil bisa bisa bergerak. Jadi, hukum materil sifatnya hanya memuat ketentuan/aturan tentang suatau hal yang dilarang saja. Sedangkan hukum formil memuat tata cara untuk ber-acara dalam proses penyelesaian pelanggaran terhadap ketenutan larangan yang ada dalam hukum materil. Sebagai contoh, KUHP tidak bisa diterapkan tanpa adanya KUHAP, begitu juga dengan qanun syariat islam. Qanun materilnya sudah ada sedangkan qanun formilnya beluam ada, makanya sering terjadi penyerahan tahanan WH kepihak kepolisian untuk diteruskan proses hukumnya.
Ketiga, Butuh Lembaga Rehabilitasi yang terkonsep baik dengan menerapkan prinsip syariah . Lembaaga ini berfungsi untuk mengamankan tahanan WH sekaligus tempat bimbingan rohani dan pengembalian mental bagi pelanggar syariat islam. Terutama bagi pelanggar khamar maisir yang kecanduan dan pelanggar khamar yang sudah bergantungan.
Namun yang menjadi kekhawatiran kita mampukah pemerintah dengan pemimpin baru kedepan menerapkan syariat dengan benar-benar kaffah? Dan ini menjadi PR kita bersama sebagai masyarakat dan pemerintah sebagai penyelenggara. Semoga !
PENULIS : Said Syahrul Rahmad, S.H.
Wakil Sekretaris Umum Badan Koordinasi HMI Aceh periode 2010 – 2012
No comments:
Write comments